(Fransiskus
X. Bala Keban)*
Letaknya di selatan
pulau Solor, diapiti dua desa yakni Bubu Atagamu dan Watanhura I, diperhadapkan
dengan luasnya pantai selatan dengan busa putih gelombangnya yang memecah bebatuan
dipinggir pantai, semakin menyemarakkan keindahan negeri itu. Desa Watanhura 2 atau
lebih dikenal dengan desa Apelame namanya, desa kecil yang ditempuh kurang
lebih 45 menit dengan kendaraan roda dua dari pelabuhan podor-Solor menyimpan
cerita khas anak lewotana yang percaya dan begitu menghormati budayanya, hingga
mampu menjaganya disaat budaya lokal mulai kehilangan jati dirinya. Dan ritual
adat Ahik Le’an Koke atau Hari Raya
Koke menjadi penegas betapa manusia begitu dekat dan tidak bisa dipisahkan
dengan budaya turunan leluhur lewotana tersebut. Ritual yang diawali dengan
ceremonial di rumah adat masing-masing suku yakni Suku Lein, Kabelen, Aran,
Maran dan Werang yang terletak di kampung induk tempat dimana masyarakatnya hidup
dengan segala kesederhanaan dan meninggalkan segala bentuk perbedaan, yang
membuat mereka begitu khas dimata para tamu yang sekedar lewat ataupun singgah
diperkampungan tepian pantai ini. Betapa tidak, ritual adat Ahik Le’an Koke dijadikan ajang untuk menyatukan
perbedaan tersebut, mulai dari menyatukan yang tua dan muda, menyatukan yang
katolik dan islam dan menyatukan cerita sejarah tentang kampung indah ini.
Salah satu rumah suku di kampung lama (Foto: VL) |
Dan keindahan itu
bertambah dalam prosesnya menuju ke kampung lama yang dalam bahasa sastra adatnya
dinamakan lewo lamen lama dike, tana
tukan wai lolon. Kampung yang diyakini masyarakat sesuai penuturan
sejarahnya merupakan perpaduan atau penggabungan diantara 4 kampung filial
dintaranya, Desa Apelame sebagai Lewo
Tana Alat (pemilik kampung/tuan tanah), Kewukak, Lewoniron dan Lamaboleng yang
kemudian dikenal dengan istilah wukak
lewo pa niron tana lema.
“Dalam perjalanan menuju kampung lama,
kami menyempatkan diri melakukan ritus bau
lolon untuk obang (sorakan
penyemangat saat mau perang) dan dilakukan sebanyak tiga kali di masing-masing
titik yang telah ditentukan tersebut,” ungkap Bapak Muslimin Sanga Lein dan
Bapak Matias Sina Kabelen, tokoh adat setempat. Menurut mereka, hal tersebut
merupakan bentuk penghormatan kepada Leluhur Lewotana yang masih melindungi
kampung dan juga penghuninya selain mengulang apa yang pernah dilakukan nenek
moyang mereka semasa dulu.
Sole
Oha dan Hedung, Penegas Persatuan
Tarian Hedung (Foto: EK) |
Dan
tarian hedung dan sole oha menjadi pembeda, pelepas kepenatan di siang yang
tidak lagi teduh. Saat para pembesar suku mulai masuk ke rumah adat
masing-masing, menunggu hantaran binatang dari masing-masing kampung filial (Kewukak,
Lewoniron dan Lamaboleng), saat itu pula, masyarakat yang hadir memulai
mengambil peralatan perang semacam parang dari kayu dan tameng tanda dimulainya
tarian hedung. Gerak kaki yang khas dipelataran nama, dipadu dengan gerakan tangan seolah memukul lawan menandakan
ciri masyarakat yang keras, namun punya daya juang walaupun di tanah yang
gersang sekalipun. Demikianlah, hedung
menjadi titik balik, dan penegas persatuan masyarakat adat desa setempat. Tidak
ada dendam, yang hanya senyum kegembiraan yang terpancar dari raut muka mereka,
melangkah pasti memeriahkan ritual adat yang satu ini.
Setelah lelah dengan
tarian hedung yang menguras energi, mereka
pun kembali ke area nama berdiri
membentuk lingkaran, sembari tangan diletakkan dibahu mereka yang lain di sisi
kiri kanan, pertanda tarian sole oha dimulai
tanpa alunan musik tradisional dan hanya ditemani suara nyanyian mereka ‘yang
dipercayakan’ masyarakat adat menuturkan koda
atau bahasa adat peninggalan nenek moyang. Indah, dan serasi tentunya, membuat
pasang mata tidak lelah dan jenuh menyaksikan fenomena yang tidak lekang oleh
waktu tersebut. Laki-laki dan perempuan melebur menjadi satu, dan debu ditengah
nama pun turut menjadi saksi betapa
peradaban zaman dulu begitu kental melekat dalam nadi orang-orang kampung itu,
mengalir dan memaksa kaki untuk selalu bergerak, menunjukkan kepada mereka di negeri seberang
yang penuh gemerlapan kekotaan bahwa inilah kami dengan kesederhanaan namun
masih punya jiwa untuk bersatu walaupun kami berbeda.
“begitulah kami, tidak ada yang berbeda
ketika kami sama-sama ada dalam tarian tadi,” tutur Matias Sina Kabelen, yang sedari
tadi menemani para pengunjung walaupun dalam ritual ini ia memiliki peran yang
amat penting sebagai anak suku kabelen.
Pemotongan
Hewan Kurban, Puncak Ahik Le’an
Ritus Pemotongan Hewan di Bumbungan Koke (Foto:EK) |
Dan
ketika hantaran hewan kurban selesai diantar ke rumah adat masing-masing suku,
masyarakat atau ribu ratu diberi
kesempatan untuk makan ataupun sekedar menyulut rokok sebatang bagi pria ataupun
menguyah sirih pinang bagi kaum perempuan sembari menunggu ritual pemotongan
hewan sebagai puncak ritual Ahik Le’a.
Menariknya, pemotongan hewan dari masing-masing suku, harus diawali dengan
pemotongan 2 hewan kurban masing-masing diatas bumbungan atap koke bale dan rumah adat kabelen, oleh
beberapa orang yang dipercayakan ata
kabelen raya. Sedang Ribu ratu menunggu
di bawah halaman sekitar koke dengan beragam ekspresi, tegang, cemas pun
mengiringi langkah kaki para pemuda kampung menaiki atap masing-masing sembari
membopong hewan kurban. Namun berbeda dengan mereka para pelaku ritual
pemotongan hewan diatas bumbungan, tidak ada keraguan sedikitpun yang terpancar
dari wajah mereka terbukti sekali tebas, darah hewan kurban pun mengalir deras
di atas atap dua lango tersebut. Dan
selanjutnya, ritual ini pun dilanjutkan dengan ritus Cahyo tuak atau te’bo tuak yang mana tuak yang disimpan di sebuah
kumbang besar dituangkan di atas nama oleh
para pembesar suku setelah sebelumnya menyanyikan lagu dalam bahasa adat
setempat.
Nama yang sedari ramai manusia,
perlahan-lahan dijauhi oleh kaki anak negeri, pertanda ritus selanjutnya siap
dilaksanakan dan ritus tersebut adalah pemotongan semua hewan kurban atau eba wola yang telah dibawa masuk oleh
setiap utusan suku yang ada. Gembira, kagum, diselilingi gelak tawa mengiringi
pemotongan hewan tersebut sementara penabu gong gendang tanpa henti-hentinya
menabuh dua alat musik khas lamholot tersebut menyemangati para pemotong hewan.
“Ketika selesai dipotong kepalanya harus
dibawah pulang ke suku masing-masing (kla’e) setelah itu rahang dari hewan itu
dibersihkan kemudian digantung di pelataran koke atau istilahnya ahik koke atau
hari raya koke,” ungkap Muslimin Sanga Lein.
Sementara
daging hewan-hewan tersebut yang telah dikumpulkan di rumah suku akan dibagikan
kepada semua yang hadir sesuai dengan hitungan anak laki-laki dalam suku, tanpa
lupa mereka-mereka yang sedang berada diluar daerah. Dan tentunya inilah hal
yang membuat mereka terlihat begitu dekat satu dengan yang lainnya, walaupun
tidak harus dengan bertatapan muka karena bagi mereka ikatan persaudaraan itu
hanya dilihat dalam aliran darah, darah yang mencintai lewo lamen lama dike, tana tukan wai lolon.
Kampung
Lama, Kental Akan Sejarah Budaya
Kampung Lama (Foto: VL) |
Kekhasan
peninggalan sejarah nenek moyang dan leluhur begitu kental terlihat bukan saja
pada beberapa ritual yang telah disebutkan tadi sebagai bagian dari rangkaian Ahik Le’an Koke tetapi juga diperkuat
dengan bentuk rumah adat yang masih terlihat kuno, natural dan namun kaya makna tersebut. Beratapkan ilalang,
dengan dinding dari keneka dan bertiangkan bambu membuatnya begitu dicintai
apalagi dengan beragam aksesoris mewakili masing-masing suku yang berdiam di
daerah tersebut, tentunya membuat para pengunjungnya terpikat. Apalagi pengunjung
akan kembali disuguhkan dengan deretan batu-batu ceper khas daerah tersebut yang
disusun sedemikian rapinya sehingga wilayah kampung lama semakin indah. Dan Lima
rumah yang berderet tersebut mengelilingi koke
di tengahnya adalah perwujudan nyata kekuatan lewo tersebut dan tentunya mewakili lima suku yang mendiami
kampung tersebut diantaranya suku Lein, Kabelen, Aran, Maran dan Werang. Dan
kelima suku tersebut, kata para informan, memiliki gandengannya masing-masing
seperti terlihat pada suku Lein yang punya gandengan dengan nama, suku Lewo Aran dengan kopong raja mau u’e merik (batu dengan
penyanggah dibawahnya), suku Kabelen dengan Koke
ini, suku Ata Maran atau suku ura wai
dipercayakan sebagai suku yang mendatangkan hujan saat masyrakat membutuhkannya,
sedangkan suku Werang dan Lewo Aran, menjadi penghuni yang berasal dari gunung.
*Penulis adalah Koordinator
Komunitas Wisata Menulis (KWM) Flotim-082359259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar