Selasa, 06 Oktober 2015

AHIK LE’AN KOKE: RITUAL ADAT YANG MENYATUKAN



(Fransiskus X. Bala Keban)*


Letaknya di selatan pulau Solor, diapiti dua desa yakni Bubu Atagamu dan Watanhura I, diperhadapkan dengan luasnya pantai selatan dengan busa putih gelombangnya yang memecah bebatuan dipinggir pantai, semakin menyemarakkan keindahan negeri itu. Desa Watanhura 2 atau lebih dikenal dengan desa Apelame namanya, desa kecil yang ditempuh kurang lebih 45 menit dengan kendaraan roda dua dari pelabuhan podor-Solor menyimpan cerita khas anak lewotana yang percaya dan begitu menghormati budayanya, hingga mampu menjaganya disaat budaya lokal mulai kehilangan jati dirinya. Dan ritual adat Ahik Le’an Koke atau Hari Raya Koke menjadi penegas betapa manusia begitu dekat dan tidak bisa dipisahkan dengan budaya turunan leluhur lewotana tersebut. Ritual yang diawali dengan ceremonial di rumah adat masing-masing suku yakni Suku Lein, Kabelen, Aran, Maran dan Werang yang terletak di kampung induk tempat dimana masyarakatnya hidup dengan segala kesederhanaan dan meninggalkan segala bentuk perbedaan, yang membuat mereka begitu khas dimata para tamu yang sekedar lewat ataupun singgah diperkampungan tepian pantai ini. Betapa tidak, ritual adat Ahik Le’an Koke dijadikan ajang untuk menyatukan perbedaan tersebut, mulai dari menyatukan yang tua dan muda, menyatukan yang katolik dan islam dan menyatukan cerita sejarah tentang kampung indah ini.
Salah satu rumah suku di kampung lama (Foto: VL)

Dan keindahan itu bertambah dalam prosesnya menuju ke kampung lama yang dalam bahasa sastra adatnya dinamakan lewo lamen lama dike, tana tukan wai lolon. Kampung yang diyakini masyarakat sesuai penuturan sejarahnya merupakan perpaduan atau penggabungan diantara 4 kampung filial dintaranya, Desa Apelame sebagai Lewo Tana Alat (pemilik kampung/tuan tanah), Kewukak, Lewoniron dan Lamaboleng yang kemudian dikenal dengan istilah wukak lewo pa niron tana lema.
“Dalam perjalanan menuju kampung lama, kami menyempatkan diri melakukan ritus bau lolon untuk obang (sorakan penyemangat saat mau perang) dan dilakukan sebanyak tiga kali di masing-masing titik yang telah ditentukan tersebut,” ungkap Bapak Muslimin Sanga Lein dan Bapak Matias Sina Kabelen, tokoh adat setempat. Menurut mereka, hal tersebut merupakan bentuk penghormatan kepada Leluhur Lewotana yang masih melindungi kampung dan juga penghuninya selain mengulang apa yang pernah dilakukan nenek moyang mereka semasa dulu.


Sole Oha dan Hedung, Penegas Persatuan 
Tarian Hedung (Foto: EK)

            Dan tarian hedung dan sole oha menjadi pembeda, pelepas kepenatan di siang yang tidak lagi teduh. Saat para pembesar suku mulai masuk ke rumah adat masing-masing, menunggu hantaran binatang dari masing-masing kampung filial (Kewukak, Lewoniron dan Lamaboleng), saat itu pula, masyarakat yang hadir memulai mengambil peralatan perang semacam parang dari kayu dan tameng tanda dimulainya tarian hedung. Gerak kaki yang khas dipelataran nama, dipadu dengan gerakan tangan seolah memukul lawan menandakan ciri masyarakat yang keras, namun punya daya juang walaupun di tanah yang gersang sekalipun. Demikianlah, hedung menjadi titik balik, dan penegas persatuan masyarakat adat desa setempat. Tidak ada dendam, yang hanya senyum kegembiraan yang terpancar dari raut muka mereka, melangkah pasti memeriahkan ritual adat yang satu ini.
Setelah lelah dengan tarian hedung yang menguras energi, mereka pun kembali ke area nama berdiri membentuk lingkaran, sembari tangan diletakkan dibahu mereka yang lain di sisi kiri kanan, pertanda tarian sole oha dimulai tanpa alunan musik tradisional dan hanya ditemani suara nyanyian mereka ‘yang dipercayakan’ masyarakat adat menuturkan koda atau bahasa adat peninggalan nenek moyang. Indah, dan serasi tentunya, membuat pasang mata tidak lelah dan jenuh menyaksikan fenomena yang tidak lekang oleh waktu tersebut. Laki-laki dan perempuan melebur menjadi satu, dan debu ditengah nama pun turut menjadi saksi betapa peradaban zaman dulu begitu kental melekat dalam nadi orang-orang kampung itu, mengalir dan memaksa kaki untuk selalu bergerak,  menunjukkan kepada mereka di negeri seberang yang penuh gemerlapan kekotaan bahwa inilah kami dengan kesederhanaan namun masih punya jiwa untuk bersatu walaupun kami berbeda.
“begitulah kami, tidak ada yang berbeda ketika kami sama-sama ada dalam tarian tadi,” tutur Matias Sina Kabelen, yang sedari tadi menemani para pengunjung walaupun dalam ritual ini ia memiliki peran yang amat penting sebagai anak suku kabelen.
Pemotongan Hewan Kurban, Puncak Ahik Le’an
Ritus Pemotongan Hewan di Bumbungan Koke (Foto:EK)

            Dan ketika hantaran hewan kurban selesai diantar ke rumah adat masing-masing suku, masyarakat atau ribu ratu diberi kesempatan untuk makan ataupun sekedar menyulut rokok sebatang bagi pria ataupun menguyah sirih pinang bagi kaum perempuan sembari menunggu ritual pemotongan hewan sebagai puncak ritual Ahik Le’a. Menariknya, pemotongan hewan dari masing-masing suku, harus diawali dengan pemotongan 2 hewan kurban masing-masing diatas bumbungan atap koke bale dan rumah adat kabelen, oleh beberapa orang yang dipercayakan ata kabelen raya. Sedang Ribu ratu menunggu di bawah halaman sekitar koke dengan beragam ekspresi, tegang, cemas pun mengiringi langkah kaki para pemuda kampung menaiki atap masing-masing sembari membopong hewan kurban. Namun berbeda dengan mereka para pelaku ritual pemotongan hewan diatas bumbungan, tidak ada keraguan sedikitpun yang terpancar dari wajah mereka terbukti sekali tebas, darah hewan kurban pun mengalir deras di atas atap dua lango tersebut. Dan selanjutnya, ritual ini pun dilanjutkan dengan ritus Cahyo tuak atau te’bo tuak yang mana tuak yang disimpan di sebuah kumbang besar dituangkan di atas nama oleh para pembesar suku setelah sebelumnya menyanyikan lagu dalam bahasa adat setempat.
            Nama yang sedari ramai manusia, perlahan-lahan dijauhi oleh kaki anak negeri, pertanda ritus selanjutnya siap dilaksanakan dan ritus tersebut adalah pemotongan semua hewan kurban atau eba wola yang telah dibawa masuk oleh setiap utusan suku yang ada. Gembira, kagum, diselilingi gelak tawa mengiringi pemotongan hewan tersebut sementara penabu gong gendang tanpa henti-hentinya menabuh dua alat musik khas lamholot tersebut menyemangati para pemotong hewan.
“Ketika selesai dipotong kepalanya harus dibawah pulang ke suku masing-masing (kla’e) setelah itu rahang dari hewan itu dibersihkan kemudian digantung di pelataran koke atau istilahnya ahik koke atau hari raya koke,” ungkap Muslimin Sanga Lein.
            Sementara daging hewan-hewan tersebut yang telah dikumpulkan di rumah suku akan dibagikan kepada semua yang hadir sesuai dengan hitungan anak laki-laki dalam suku, tanpa lupa mereka-mereka yang sedang berada diluar daerah. Dan tentunya inilah hal yang membuat mereka terlihat begitu dekat satu dengan yang lainnya, walaupun tidak harus dengan bertatapan muka karena bagi mereka ikatan persaudaraan itu hanya dilihat dalam aliran darah, darah yang mencintai lewo lamen lama dike, tana tukan wai lolon.
Kampung Lama, Kental Akan Sejarah Budaya
Kampung Lama (Foto: VL)

            Kekhasan peninggalan sejarah nenek moyang dan leluhur begitu kental terlihat bukan saja pada beberapa ritual yang telah disebutkan tadi sebagai bagian dari rangkaian Ahik Le’an Koke tetapi juga diperkuat dengan bentuk rumah adat yang masih terlihat kuno, natural  dan namun kaya makna tersebut. Beratapkan ilalang, dengan dinding dari keneka dan bertiangkan bambu membuatnya begitu dicintai apalagi dengan beragam aksesoris mewakili masing-masing suku yang berdiam di daerah tersebut, tentunya membuat para pengunjungnya terpikat. Apalagi pengunjung akan kembali disuguhkan dengan deretan batu-batu ceper khas daerah tersebut yang disusun sedemikian rapinya sehingga wilayah kampung lama semakin indah. Dan Lima rumah yang berderet tersebut mengelilingi koke di tengahnya adalah perwujudan nyata kekuatan lewo tersebut dan tentunya mewakili lima suku yang mendiami kampung tersebut diantaranya suku Lein, Kabelen, Aran, Maran dan Werang. Dan kelima suku tersebut, kata para informan, memiliki gandengannya masing-masing seperti terlihat pada suku Lein yang punya gandengan dengan nama, suku Lewo Aran dengan kopong raja mau u’e merik (batu dengan penyanggah dibawahnya), suku Kabelen dengan Koke ini, suku Ata Maran atau suku ura wai dipercayakan sebagai suku yang mendatangkan hujan saat masyrakat membutuhkannya, sedangkan suku Werang dan Lewo Aran, menjadi penghuni yang berasal dari gunung.
*Penulis adalah Koordinator Komunitas Wisata Menulis (KWM) Flotim-082359259